Peran Agama dalam Mewujudkan Civil
Society
Di Negara Indonesia
Oleh : Nurul Muhsinin
Mahasiswa Perbandingan Madzhab dan Hukum
Fakultas Syari'ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Lembaran sejarah dalam perjuangan bangsa Indonesia tentang
wacana Hak Asasi Manusia menyaksikan bahwa jauh sebelum kemerdekaan, para
perintis bangsa (Founding Fathers) telah
memercikkan pemikiranya untuk mem-perjuangkan harkat dan martabat manusia menjadi
yang lebih baik. Percikan pemikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-suratnya
R.A.Kartini yang berjudul “Habis Gelap
Terbitlah Terang”, serta karangan politik yang ditulis oleh
H.O.S.Cokroaminoto, Agus Salim dll. Namun, wacana diatas gagal dituangkan dalam
suatu hukum dasar negara ketika Orde baru berkuasa.
Pada saat orde baru berkuasa (1966-1998) kekerasan sering
dijadikan sebagai solusi terakhir dalam penyelesaian suatu masalah. Solusi
terakhir yang dilakukan dengan kekerasan tersebut dipicu dengan berbagai
alasan, diantaranya: a).Perbedaan Suku, b). Perbedaan Ras, c). Perbedaan
Keyakinan, d). Perbedaan Ekonomi dan Kebudayaan, dan masih banyak lagi. Bahkan,
tidak jarang kekerasan tersebut dilakukan oleh Pemerintah terhadap rakyanya yang
didukung oleh kekuasaan militer. Kenapa hal itu bisa terjadi? Merujuk pada
pendapat Edward Shils bahwa pada
awal-awal pembangunan negara Indonesia,
kedudukan presiden dan militer adalah saling ketergantungan. Presiden
membutuhkan militer untuk mem-pertahankan kekuasaan, sementara militer
membutuhkan presiden untuk eksistensi mereka di pemerintahan serta sikap
militer pada umumnya anti-diskusi, anti-kritik, dan anti-kebebasan pers. Karena
Pemerintah anti terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi semakin
menyempit, kemandirian masyarakat berkurang, pluralisme dieliminasi dengan
simbol SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan)[1]
yang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat.
Pada saat itu (Orde Baru) demokrasi mati cukup lama sampai
hingga datangnya masa Reformasi (1998-2000) yaitu yang diawali dengan
lengsernya Soeharto dari kursi presiden Indonesia kedua oleh Gerakan Reformasi[2].
Pada masa inilah yang sangat friendly
dengan hak asasi manusia sampai saat ini.
Namun, pada saat ini muncul pertanyaan mengapa bangsa
Indonesia yang sudah merdeka sejak tahun 1945 selalu gagal dalam membangun
Masyarakat Madani yang sering juga disebut dengan Civil Society (masyarakat
sipil), Walaupun secara historis di Indonesia upaya untuk merintis lahirnya
masyarakat madani sekitar abad ke-20? Padahal adanya masyarakat madani di
negara Indonesia sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang
majemuk dengan banyaknya ras, suku, etnis dan agama serta memiliki ciri-ciri
sebagai berikut : a). Kemandirian, b). Toleransi, c). Keswadayaan, d). Rela
menolong satu sama lain dan e). Menjunjung tinggi norma dan etika.
Sebenarnya sudah banyak para ahli pakar ilmu-ilmu sosial,
aktivis sosial dan politisi yang mengemukakan sebab dari gagalnya pembangunan
fondasi masyarakat madani. Mayoritas mereka memandang kegagalan tersebut
di-kategorikan kedalam dua faktor, yaitu :
1. Faktor
Internal
Merupakan penyebab yang berasal dari dalam masyarakat itu
sendiri, yaitu kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dalam
mewujudkan masyarakat madani;
2. Faktor
Eksternal
Merupakan penyebab yang berasal dari luar diri masyarakat
Indonesia, yaitu proses percepatan globalisasi budaya yang tidak mampu direspon
atau disaring secara seimbang yang mengakibatkan masyarakat Indonesia
terjangkit Cultural Shock (Kaget
Budaya) secara kolektif.
A.
Agama dan
Masyarakat Madani
Dalam kaitanya dengan masyarakat madani, agama dipandang
dengan sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas (fungsi) agar
masyarakat menjadi lebih baik. Maka, dalam tinjauanya yang dipentingkan adalah
daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat.
Masyarakat Madani berasal dari dua kata yaitu Masyarakat dan
Madani. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Masyarakat
berarti sejumlah
manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama.
Sedangkan Madani dalam bahasa arab berasal dari kata “Madani, Madinah. Madaniah atau Tamaddun” yang berarti Masyarakat kota, Masyarakat yang
berperadaban.
Dalam bahasa Inggris berasal dari kata “Civility atau civilization, civil society” yang
berarti masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban. Adapun secara istilahnya,
masyarakat madani (Civil Society) kumpulan manusia dalam satu tempat (daerah/wilayah) dimana
mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan
yang telah ditetapkan. Menurut Aristoteles masyarakat madani adalah suatu
masyarakat yang dipimpin dan tunduk pada hukum, baik penguasa, rakyat, dan
siapapun harus taat dan patuh terhadap hukum yang telah dibuat dan disepakati
bersama.
Adapun didalam al-Qur’an disebutkan bahwa masyarakat madani
di konteks-kan dengan istilah “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur” yang secara harfiyahnya berarti negeri
yang baik serta dalam keridhaan Allah SWT. Istilah yang digunakan dalam Alquran
tersebut sejalan dengan makna masyarakat yang ideal yaitu berada dalam ampunan
dan keridahan-Nya. “Masyarakat ideal”
inilah yang dimaksud dengan “masyarakat
madani”.
Adapun konsep dari masyarakat madani adalah
sebagaimana yang dipraktikan oleh Rasulullah SAW dalam kenegaraan di Madinah. Konsep tersebut bermula sesaat
setelah hijrahnya Nabi SAW dan para sahabatnya, yang ditandai dengan
adanya Sahifah Watsiqah Madīnah atau Madinah Charter yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Piagam
Madinah”. Poin-poinya berisi pernyataan (statement) tentang kemasyarakatan yang
pada intinya meliputi:
1.
Asas
kebebasan beragama
Yakni negara mengakui dan
melindungi setiap kelompok untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.
2.
Asas
persamaan
Yakni semua orang mempunyai
kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak
boleh seorang pun diperlakukan secara buruk, bahkan orang yang lemah harus
dilindungi dan dibantu;
3.
Asas
kebersamaan
Yakni semua anggota
masyatakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara;
4.
Asas
keadilan
Yakni setiap warga negara
mempunyai kedudukan yang sama di hada-pan hukum. Hukum harus ditegakkan,
siapapun yang melanggarnya harus terkena hukuman;
5.
Asas
perdamaian
Yakni warga negara hidup
secara berdampingan, tanpa membedakan suku, agama, dan ras (SARA);
6.
Asas
musyawarah
Yaitu semua permasalahan
kenegaraan yang pelik mesti dicarikan solusinya melalui dewan syura.
Dan “Piagam Madinah” tersebut ditanda tangani
oleh oleh seluruh komponen masyarakat yaitu Nasrani, Yahudi, Muslim (Ansor dan
Muhajirrin). Dari situ dapat dilihat bahwa sanya pada masa Rasulullah SAW
masyarakat yang mendukung adanya piagam madinah tersebut menunjukkan karakter
masyarakat yang majemuk baik ditinjau dari segi asal keturunan, maupun segi
budaya dan agama. Di dalamnya terdapat arab Muslim, arab Yahudi dan arab
Nasrani, semuanya bersatu membangun madinah.
B. Hubungan
Agama dan Masyarakat Madani di Indonesia
Agama memiliki hubungan yang sentral dalam penciptaan civil society, dalam artian agama memiliki peran yang
mampu mengembangkan dan juga menghambat terciptanya civil society. Dari rumusan
tersebut memberikan kesan bahwa Civil Society merupakan alternatif yang paling
masuk akal.
Masyarakat Indonesia yang sangat
religius tentu tidak bisa didorong untuk memperkembangkan civil society dengan
membebaskan diri dari agama apalagi terdapat Fatwa MUI yang mengharamkan
pluralisme dan sekularisme. Mungkin hal itu yang menunjukkan bahwa tidak
mungkin masyarakat (Muslim) Indonesia mengabaikan nilai-nilai agama di dalam
mewujudkan civil society. Kalaupun ada pemikiran yang ingin menjadikan
Indonesia sebagai negara-bangsa yang bebas agama berdasarkan sekularisme, yang
memisahkan agama dari negara secara murni adalah pemikiran yang mengingkari
fakta sejarah dan budaya Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara yang
mengakui tauhid yaitu yang tercantum didalam Pancasila sila ke-1 “Ketuhanan
yang Maha Esa”, yang penduduknya religius dan bangsa yang mayoritas muslim,
Indonesia adalah NKRI yang “Berketuhanan yang Maha Esa”. Jadi,
Masyarakat madani dalam persepektif yang sebenarnya telah tercantum didalam
Pembukaan UUD 1945 alinea ke-3.
Sedangkan hubungan dari agama dan masyarakat madani adalah
bahwa agama diyakini sebagai risalah
dari Tuhan yang bersifat theo-centris, sementara moralitas kekuasaan dan
masyarakat madani merupakan bagian dari antropo-centris yang menitik beratkan
pada persoalan manusia. Dan legitemasinya pun diperoleh dari sesamanya. Persoalan
agama, moralitas kekuasaan dan masyarakat madani adalah persoalan manusia dan
kemanusiaan. Hanya saja, letak perbedaannya yaitu agama merupakan respons
manusia terhadap Tuhannya, sedangkan kekuasaan dan masyarakat madani merupakan
respons dan tatakrama manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks pergumulan
dengan sesamanya.
Berdasarkan pemaparan dan
penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian Masyarakat madani
secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana mereka
hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan
kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering
disebut dengan istilah civil
society (masyarakat sipil) atau al-mujtama’ al-madani, yang pengertiannya selalu mengacu
pada “pola hidup masyarakat yang tebaik,
berkeadilan, dan berperadaban”, sedangkan dalam istilah Alquran, kehidupan
masyarakat madani tersebut dikontekskan dengan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr”.
Dari
nilai-nilai dasar kemasyarakatan ini, maka lahirlah konsep masyarakat madani
yaitu masyarakat yang ideal, yang teriterpretasi dalam tiga istilah yaitu :
1.
Masyarakat yang utama dan terbaik (khairah ummah)
2.
Masyarakat yang seimbang (ummatan wasathan)
3.
Masyarakat moderat (ummah muqtashidah).
Konsep masyarakat
madani yang seperti diatas itulah yang diimplementasikan oleh Rasulullah
Muhammad SAW di masyarakat Madinah yang ditandai dengan
adanya Sahifah ay Watsiqah
Madīnah atau Madinah
Charter, yakni “Piagam Madinah” yang item-itemnya meliputi
enam prinsip, yakni asas kebebasan beragama, Asas Persamaan, Asas Kebersamaan,
Asas Keadilan, Asas Perdamaian, dan Asas Musyawarah.
Maka dapat diketahui bahwa kajian tentang
masyarakat madani yang berkaitan dengan agama menurut persepektif al-Qur’an
masih perlu dikembangkan, sehingga akan diperoleh rumusan konsepsi tentang masyarakat
madani yang lebih akurat dan argumentatif untuk diimplementasikan dalam
kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya di Indonesia.
MERDEKA…!!!!
Nurul Muhsinin
Perbandingan Madzhab dan
Hukum
Posting Komentar