Istilah integrasi berasal dari bahasa Inggris integrate (kkt.: mengintegrasikan; menyatupadukan; menggabungkan; mempersatukan). Berdasarkan pengertian istilah tersebut, maka pendidikan integrasi di Indonesia dikenal dengan pendidikan terpadu. Sekalipun ada tiga bentuk keterpaduan yang dapat ditemukan di Indonesia, yaitu keterpaduan antara berbagai jenis keluarbiasaan, keterpaduan antara anak luar biasa dengan anak normal, dan keterpaduan tersamar (sejumlah anak luar biasa yang berada di sekolah-sekolah umum, tetapi tidak memperoleh layanan pendidikan yang layak) (Sunardi, 1995:110), namun berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud No.002/U/1986 tentang pendidikan integrasi bagi anak cacat, Bab I pasal 1 poin (a) mengemukakan: “pendidikan integrasi adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat yang diselenggarakan bersama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan”.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa program pendidikan integrasi merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi ABK dimana mereka belajar bersama-sama dengan anak normal dalam satu kelas, dengan guru, kurikulum dan pengelolaan yang sama dengan anak-anak pada umumnya di sekolah biasa. Mereka mengikuti pendidikan di sekolah biasa bersama-sama dengan teman-temannya yang normal. Namun demikian, meskipun mereka diintegrasikan ke sekolah biasa, mereka tetap memerlukan layanan pendidikan khusus sesuai dengan jenis dan tingkat kelainannya.
Pendidikan integrasi di Indonesia muncul atas dasar pemikiran bahwa: pertama, pada saat itu ABK masih menyebar di daerah-daerah sampai di pedesaan seluruh pelosok tanah air, sedangkan SLB yang ada hanya di kota-kota tertentu dan hanya dapat menampung sebagian kecil ABK, sehingga relatif masih kecil dibandingkan dengan populasi ABK. Akibatnya belum banyak ABK yang menikmati pendidikan. Kedua, sarana dan prasarana yang ada masih terbatas, belum memungkinkan penyediaan SLB yang dapat menampung dan menangani seluruh ABK. Ketiga, melalui system pendidikan integrasi, diperkiraakan akan mampu memberikan pelayanan pendidikan terhadap ABK dengan biaya yang relatif tidak terlalu mahal.Keempat, melalui system integrasi, ABK akan berintegrasi dengan anak-anak pada umumnya, sehingga dapat menghilangkan rasa rendah dirinya dan sikap pesimistisnya. Diharapkan tumbuh rasa kepercayaan dan keyakinan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu belajar bersama-sama dengan teman lainnya dan ia mampu menjadi warga negara yang produktif. Kelima, melalui pendidikan integrasi, pengertian masyarakat terhadap ABK tidak menimbulkan perkiraan yang salah bahwa ABK tidak mungkin dapat berproduksi, sehingga hanya menjadi beban masyarakat. Diharapkan pula agar para orang tua ABK akan senantiasa optimis terhadap pelayanan pendidikannya.
Untuk memahami lebih jauh mengenai program pendidikan integrasi dikutip beberapa definisi dari para ahli, antara lain: SA.Bratanata (1974) memberikan istilah pendidikan integrasi yaitu pendidikan bagi anak berkelainan yang diterima bersama-sama anak normal, dan diselenggarakan di sekolah biasa. Bentuk penyelenggaraan pendidikan ini telah banyak dinikmati terutama oleh anak tunanetra yang mampu dan sanggup berkompetisi dengan anak-anak normal”. Unicef information mengemukakan bahwa “An innovative programme in Indonesia called “Sekolah Integrasi” or integrated school, is managing on small but growing scale to introduce blind children in to ordinary primary schools and give them change of normal education” (Darodjat Natanegara, 1980). Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa di Indonesia terdapat inovasi program pendidikan yang dikenal dengan “sekolah integrasi” atau sekolah integrasi yang sedang dirintis pada sebuah daerah kecil tetapi berkembang dengan baik. Tujuan program ini adalah untuk memasukkan anak-anak tunanetra ke sekolah-sekolah dasar biasa dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengikuti pendidikan biasa atau pendidikan untuk anak-anak normal. Sedangkan Dwidjosumarto (1996:68) mengungkapkan bahwa system pendidikan integrasi adalah system pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak luar biasa belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum.
Dari berbagai batasan di atas, pendidikan integrasi merupakan salah satu upaya dalam memberikan layanan pendidikan yang efektif dan efisien bagi ABK agar potensi mereka dapat berkembang secara optimal.
Selanjutnya Mulyono Abdurahman (1996) mengemukakan bahwa “pendidikan integrasi paling sedikit harus memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu: (1) mengintegrasikan peserta didik luar biasa (penyandang ketunaan maupun yang memiliki keunggulan) dengan peserta didik normal dalam suatu lingkungan belajar, mencakup suatu komitmen dari integrasi lokasi hingga integrasi penuh; (2) mengintegrasikan dan mengoptimalkan pengembangan potensi yang mencakup kognitif, afektif, psikomotor dan interaktif; (3) mengintegrasikan hakikat manusia sebagai makhluk sosial ke dalam suatu bentuk strategi pembelajaran; (4) mengintegrasikan apa yang dipelajari peserta didik saat ini dengan tugas yang harus diemban di masa mendatang ” (Cahaya netra, 1997:7). Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk melaksanakan program pendidikan integrative/integrasi suasana kompetitif yang mendominasi pendidikan kita harus diubah terlebih dahulu menjadi kooperatif. Dengan demikian, peserta didik yang berkelainan dan tergolong menyandang ketunaan diharapkan dapat lebih mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya.
Menurut keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992, pendidikan integrasi merupakan program pendidikan bagi anak berkelainan yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di jalur pendidikan sekolah. Melalui program pendidikan integrasi tersebut, para peserta didik dimungkinkan untuk: (1) saling menyesuaikan diri; (2) saling belajar tentang sikap, perilaku dan keterampilan; (3) saling berimitasi dan mengidentifikasi; (4) menghilangkan sifat menyendiri; (5) menimbulkan sikap saling percaya; (6) meningkatkan motivasi untuk belajar; (7) meningkatkan harkat dan harga diri.
Adapun jenis program pendidikan integrasi pada dasarnya ada tiga, yaitu: integrasi lokasi fisik, integrasi dalam aspek sosial, dan integrasi fungsional atau integrasi penuh.
- Integrasi lokasi fisik; penyelenggaraan ini di mana ABK mendapatkan pelayanan khusus dalam kelas/sekolah khusus dengan kurikulum PLB tetapi lokasi gedung berada dalam satu areal dengan sekolah umum, atau dengan perkataan lain SLB dan sekolah biasa menempati suatu lokasi yang sama, akan tetapi kurikulum dan program pendidikannnya berbeda, sehingga kontak antara ABK dan anak normal tidak diatur dan tidak dilakukan dengan suatu program tertentu. Namun kontak antara anak normal dengan ABK dapat ditingkatkan dengan membuat perencanaan yang baik dan matang, baik dalam penampungan maupun dalam penempatan ABK tersebut, sehingga keterpaduan dapat berjalan lebih efektif.
- Integrasi dalam aspek sosial; dimaksudkan bahwa tidak semua kegiatan dalam proses belajar mengajar melibatkan ABK, mereka dilibatkan dalam kegiatan tertentu saja, misalnya dalam kegiatan bermain, berolah raga, bernyanyi, makan, rekreasi dan sebagainya, sehingga dari segi kurikulum sebagian menggunakan kurikulum SLB dan sebagian lagi menggunakan kurikulum sekolah umum. Hal ini terjadi mengingat pertimbangan kondisi dan kemampuan ABK. Oleh karena itu program pendidikan ini sering juga dikategorikan sebagai program pendidikan integrasi sebagian.
- Integrasi fungsional atau integrasi penuh; di dalam program ini termasuk integrasi lokasi dan sosial, di mana ABK dan normal mengarah pada aktivitas bersama dalam seluruh kegiatan atau proses belajar mengajar. Artinya mereka menggunakan kurikulum yang sama, guru dan kelas yang sama pula. Integrasi jenis ini sering disebut sebagai integrasi penuh. Dalam hal-hal tertentu ABK mendapat bimbingan apabila mendapat kesulitan yang berkaitan dengan kecacatannya, seperti membaca, menulis Braille, pemahaman geometri bagi anak tunanetra, bimbingan komunikasi total atau bahasa isyarat bagi anak tunarungu, bina bicara dan fisio terapi bagi anak tunadaksa dan sebagainya.
Program pendidikan integrasi fungsional ini merupakan bentuk pengintegrasian yang paling mendekati kewajaran, di mana ABK dan anak normal dengan usia sebaya secara bersama-sama menjadi murid pada satu sekolah biasa (reguler) dengan full time dan full kegiatan dari kegiatan sekolah dan mereka secara bersama pula mendapat pelayanan yang sama dari guru kelas yang bersangkutan tanpa dibeda-bedakan. Sekolah biasa yang digunakan untuk menyelenggarakan program pendidikan integrasi fungsional atau integrasi penuh dituntut mampu memberikan pelayanan secara menyeluruh. Untuk itu perlu disusun perencanaan kelas maupun program pembelajaran secara teliti dan memperhatikan kemampuan anak masing-masing, sehingga anak dapat belajar dengan baik.
Posting Komentar